Jakarta — Naratara.com
Di sebuah auditorium kecil di jantung ibu kota, tepatnya di University of Jakarta Internasional, Senin siang yang biasa berubah menjadi perbincangan tak biasa: masa depan media. Di sela pengukuhan pengurus Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI), tiga pemikir komunikasi berbagi keresahan yang sama — bahwa stasiun TV berita konvensional sedang kehilangan arah di tengah samudera digital yang tak kenal ampun.
Taufan Hariyadi, dosen Komunikasi FISIP Uhamka, menyebutnya sebagai “era penyebaran.” Audiens tak lagi sekadar penonton. Mereka kini adalah agen penyebar, pemilah makna, bahkan pencipta ulang. Tapi TV konvensional, katanya, masih terkungkung dalam pola “stickiness” — konten yang menempel kaku di satu layar, tanpa celah partisipasi.
“Hari ini, orang tak ingin hanya menonton. Mereka ingin menyebarkan, mengomentari, bahkan mengubah isi konten. Kalau hanya diam ditonton, konten itu mati,” ucap Taufan, tajam.
Nada itu senada dengan pengamat media digital Rulli Nasrullah. Ia menyayangkan bagaimana banyak redaksi televisi masih menggunakan format lama, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, dunia sudah berubah: kilat, cair, dan nyaris tak sabar.
“Konten digital harus interaktif, ringkas, dan mudah dibagikan. Kalau tidak berani berubah, maka bersiaplah untuk dilupakan,” katanya.
Sementara itu, Algooth Putranto, wartawan senior yang lama berkecimpung di dunia berita televisi, menyebut fenomena “second screen” — di mana televisi hanya menjadi latar, bukan utama. Validasi informasi, bukan sumber pertama. Realitas baru ini, menurutnya, adalah peringatan bahwa TV bukan lagi pusat atensi publik.
Taufan kemudian mengajukan solusi: newsroom harus berevolusi. Bukan sekadar ruang redaksi, tapi menjadi pusat distribusi lintas platform. Semua format, semua kanal, semua bentuk partisipasi harus dipertimbangkan. Budaya konvergensi bukan pilihan, tapi keharusan.
“If it doesn’t work mobile, it doesn’t work,” katanya. Kalimat itu bukan jargon, tapi prinsip baru dalam distribusi konten.
Ketiganya sepakat: dikotomi antara media lama dan media baru sudah usang. Saatnya menyatu dalam satu ekosistem distribusi yang sehat. Tak ada lagi sekat antara TV dan internet, antara pemirsa dan pembuat konten.
Dan mungkin memang sudah waktunya kita berhenti bicara soal bertahan — lalu mulai bergerak untuk bertransformasi.(red)
Komentar