Malaka, Naratara.com – Melaka bukan hanya nama di peta. Ia adalah sepotong masa lalu yang masih hidup, berdetak di antara bangunan tua, jalanan batu, dan aliran sungai yang menyimpan ribuan cerita.
Sebagai kota warisan dunia yang diakui UNESCO sejak 2008, Melaka menawarkan lebih dari sekadar wisata. Ia menyuguhkan pengalaman menyelami sejarah peradaban Asia Tenggara—di mana budaya Melayu, Tionghoa, Portugis, Belanda, hingga Inggris saling bertemu dan meninggalkan jejaknya.
Dari pagi hingga malam, Melaka punya wajah yang berbeda. Di siang hari, wisatawan berjalan kaki menyusuri Dutch Square yang khas dengan warna merah bata. Menjelang sore, suara azan, lonceng gereja, dan aroma jajanan lokal berbaur jadi satu.
Delapan tempat berikut menjadi simbol dari apa yang disebut sebagai “jiwa” Melaka:
-
Stadthuys, kompleks tua dari zaman kolonial Belanda yang kini jadi museum sejarah dan pusat kegiatan budaya.
-
Gereja St. Paul, bangunan peninggalan Portugis yang berdiri di puncak bukit, dengan pemandangan kota dan laut lepas.
-
Benteng A’Famosa, yang tersisa hanya gerbangnya, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa Melaka dulu pernah menjadi rebutan kekuatan besar dunia.
-
Jonker Walk, jantung keramaian malam yang penuh dengan makanan khas, barang antik, dan pertunjukan jalanan.
-
Melaka River Cruise, perjalanan menyusuri sungai dengan pemandangan mural dan rumah-rumah kayu tradisional di kiri-kanan.
-
Museum Baba & Nyonya, rumah Peranakan otentik yang mengajak kita menyelami kehidupan generasi campuran Tionghoa-Melayu masa lalu.
-
The Shore Sky Tower, cara modern menikmati kota tua dari ketinggian 163 meter.
-
Kuil Cheng Hoon Teng, kuil Tionghoa tertua di Malaysia yang menjadi simbol keharmonisan antarbudaya dan agama.
Melaka bukan tentang seberapa banyak destinasi yang bisa dikunjungi. Tapi tentang bagaimana setiap sudutnya membawa kita kembali ke masa lalu, sembari tetap berdiri di masa kini.(red)
Komentar